Minggu, 15 Maret 2009

Kebahagiaan Adalah Anugrah

Kebahagiaan tidak lain adalah limpahan karunia Ilahi, bukan merupakan sebuah hasil usaha semata. Seperti masuknya hamba-hamba yang sholeh kedalam syurga bukan dikarenakan amalan mereka semata yang -sebut saja tidak terhitung jumlahnya menurut ukuran manusia- melainkan karena rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam sudut pandang ikhtiar atau usaha, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa manusia diberikan kebebasan memilih, jalan kebahagiaan atau kesengsaraan. Tapi tetap seluruh usaha manusia -mau tidak mau- terikat dalam sebuah ketetapan pasti yaitu takdir Alloh.

Takdir adalah hak mutlak milik Allah. Manusia hanya memiliki hak menebar usaha, melakukan amalan, berikhtiar dan bekerja. Kita harus mengimani takdir apapun yang terjadi. Namun dalam nuansa ikhtiar kita harus tetap berusaha, niscaya Allah akan memberikan kemudahan.

Ada dua kata kunci disini: takdir dan usaha. Keduanya tidak bisa terpisahkan. Dan keduanya, bisa menjadi pemicu terwujudnya gelombang kebahagiaan.

Pertama, takdir. Dengan meyakini takdir, seorang muslimah akan memiliki ketabahan, terutama di saat harus menerima dera musibah secara bertubi-tubi atau di saat menghadapi ancaman terhadap ketentraman hidupnya.

Allah berfirman,

مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلاَ فِيَ أَنفُسِكُمْ إِلاّ فِي كِتَابٍ مّن قَبْلِ أَن نّبْرَأَهَآ إِنّ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرٌ

“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa dibumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)

Ketabahan itulah, yang akan menjadi pemicu kebahagiaan. Karena ketabahan itu muncul melalui proses keimanan yang bertarung melawan bujuk rayu nafsu, melawan tekanan keadaan, untuk kemudian keluar sebagai pemenang, mendulang karunia petunjuk Allah.

Allah berfirman,

مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ إِلاّ بِإِذْنِ اللّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللّهُ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu…” (Ath Thaghabun: 11)

Hati yang mendapatkan petunjuk, niscaya memancarkan cahaya pasrah, menyingkirkan nafsu amarah, menepis rasa kesal dan kecewa sehingga lahirlah kebahagiaan itu.

Di sisi lain, keyakinan kepada takdir, menyeruakkan nuansa kesegaran berpikir, karena dasar keyakinan bahwa Allah akan memberikan pahala, bagi orang-orang yang tabah dan sabar.

وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُواْ جَنّةً وَحَرِيراً

“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena ketabahan mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera…” (Al Insan: 12)

Kedua, adalah usaha yaitu usaha yang baik atau amal sholeh yang dilakukan seorang mukmin, memiliki nilai sakral. Berkaitan dengan kandungan ruh keikhlasan dan kekuatan dan kekuatan peneladanan terhadap manusia terbaik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam yang terdapat di dalamnya. Dua kandungan itu, bagaikan nyawa dan kekuatan. Membuat usaha yang dilakukan oleh seorang mukmin berpengaruh impresif, menekan jauh ke lubuk jiwa, melakukan kepuasan yang tiada tara. Tidak peduli, apakah usaha itu -pada akhirnya- menampakkan hasil, atau terjatuh pada lubang-lubang kegagalan. Dalam konteks ini, usaha apa pun yang dilakukan oleh seorang muslim tak lepas dari bingkai ibadah, atau penghambaan diri kepada Allah. Semakin hebat usaha yang dilakukan, semakin meningkat kualitas kehambaannya.

Sebagai contohnya, ibadah sholat diyakini mampu menjadi media penyejuk hati, bila dilakukan dengan khusu‘ dan dibarengi dengan kesabaran jiwa…

يَآأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصّبْرِ وَالصّلاَةِ إِنّ اللّهَ مَعَ الصّابِرِينَِ

“Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al Baqoroh: 153)

Dari pemaparan di atas, kita bisa menyimpulkan sebuah fenomena yang cukup menarik. Kebahagiaan itu lebih sering muncul, setiap kali seorang muslim selesai melakukan pekerjaannya. Disebut dengan kata lebih sering muncul, karena selesai atau tidak suatu pekerjaan, berhasil atau tidak suatu usaha, tidak akan mempengaruhi kebahagiaan yang bakal didapat oleh seorang muslim. Di saat gagal berusaha, seorang mukmin tetaplah berbahagia, karena pengaruh mutiara ketabahan yang tertanam kuat dalam jiwanya. Di saat berhasil, ia akan memperoleh kebahagiaan lebih, karena rasa syukurnya. Itulah keajaiban seorang mukmin!

“Sungguh ajaib sikap seorang mukmin! Karena segala sesuatunya baik baik baginya. Hal itu hanya berlaku bagi seorang mukmin saja. Apabila ia mendapatak kesenanagan, ia bersyukur. Itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa musibah, ia tetap tabah, maka itu pun menjadi kebaikan baginya.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2999)

Sekali lagi, kebahagiaan itu lebih mudah dirasakan oleh seorang muslim ketika usaii menyelesaikan pekerjaannya. Adapun rasa syukur yang ia ungkapkan, menjadikannya nilaii lebih. Meskipun secara umum, rasa syukur itu lebih mudah dilakukan, daripada ketabahan dii saat terjadi musibah. Disebutkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya, ketabahan yang sejati itu ada pada guncangan pertama kali ketika terjadinya musibah.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shohihnya I: 430)

Rasa syukur akan memberikan nilai lebih, terhadap penyegaran hati dan penentraman jiwa. Dari situlah, sebuah karunia akan semakin terasa kenikmatannya.

Sebagaimana realitas kehidupan, kebahagiaan biasa hadir di saat seorang hamba mengakhiri ibadah puasanya selepas maghrib. Kehadirannya bagaikan kebahagiaan utama yang luar biasa nikmatnya.

“Orang yang melaksanakan ibadah puasa, memiliki dua kebahagiaan, yang pasti akan dirasakannya: Saat berbuka, ia berbahagia karena selesai berpuasa. Saat berjumpa dengan Allah, ia berbahagia, karena ibadah puasanya.” (Diriwayatkan oleh Al Bukari II: 673, oleh Muslim II: 807 dan At Tirmidzy III: 137)

Kebahagiaan yang didapatkan oleh seorang muslim lebih bersifat nyata dan pasti, karena merupakan dua senyawa yang terkait antara satu dengan lain. Yaitu takdir Allah dan usaha manusia dengan cara yang benar dan ikhlas. Sementara bagi orang yang tidak beriman, kebahagiaan hanyalah merupakan ‘letupan’ sesaat, tatkala menemukan hal-hal yang disukainya, atau terlepas dari beban yang menghimpitnya. Nilainya pun hanyalah sesaat, karena tidak memiliki ruh keikhlasan dan kekuatan.

Kebahagiaan tetaplah rahasia Ilahi, meskipun ’sejuta manusia’ menggapai langit dan menggali bumi, demi kebahagiaan sejati.
Keyakinan terhadap takdir, menjunjung manusia ke arah ketabahan, kepasrahan dan keteduhan hati.
Keihlasan, bak mutiara terpendam, menyorotkan cahaya pasrah, menyambut keridhoan ilahi.
Peneladanan terhadapmu, wahai Nabiku, seringkali menggeser segala kesukaan kami terhadap segenap penghuni bumi. Itulah sebabnya, kehambaan kami bertahan hingga kini.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan takdirmu, niscaya keabadian menghampirimu dengan segala keindahannya.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan keislamanmu, niscaya surga dunia, juga surga akherat, berkenan menyambutmu…

Maroji’: Aku Wanita paling Bahagia (Abu Umar Basyier)


Sabtu, 07 Maret 2009

Mengenal Islam

Suatu ketika, terjadi percakapan antara sepasang suami istri.

“Bang, jumlah orang Islam tuh lebih sedikit ya daripada Nasrani?”
“Iya kalau ukurannya internasional lebih sedikit.”
“Hmm… belum lagi kaum munafiqin di dalam Islam itu sendiri ya bang? (wal’iyya dzubillah.)”
“Iya…”
“Belum lagi orang-orang yang berpikiran liberal ya?
“Iya…”
“Belum lagi…”

Tahu tidak saudariku, belum lagi yang terakhir itu apa?
Belum lagi orang yang mungkin sebenarnya mengaku dirinya Islam, tapi ia tidak mengenal Islam dan mungkin tidak paham bahwa dia telah keluar dari Islam. Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian.
Apa Itu Islam?

Makna Islam sebagaimana didefinisikan para ulama adalah

االأِسْتِسْلامُ لِلَّهِ بِالتّوحيدد

al istislamu lillahi bit tauhid

و الأنقياد له بالطاعة
wal inqiyaadu lahu bit too’ah

و البراءة من الشرك و أهله
wal baroatu minasyirki wa ahlihi

Mari kita perjelas satu persatu definisi tersebut.

1. Berserah diri kepada Allah dengan cara hanya beribadah kepada-Nya dan tidak kepada selain-Nya.

Artinya kita benar-benar melakukan peribadatan dan segala bentuk penghambaan hanya kepada Allah.

“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Qs. Al Ikhlas [112]: 1-4)

Sebagai contoh, sebagian besar dari saudara kita masih sulit meninggalkan kepercayaan pada ramalan bintang (zodiak) dan penentuan nasib baik dan buruk berdasarkan hal ini (artinya ia menggantungkan urusannya dan pengharapannya pada sesuatu selain Allah). Padahal perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui dan hanya kepada Allah-lah seseorang menggantungkan segala urusannya selain usaha yang dilakukannya.

Akhirnya, dari perkara yang sulit ditinggalkan ini merambat ke hal-hal lain yang juga merupakan bentuk-bentuk kesyirikan yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Maka untuk poin pertama ini, kita harus memperbaiki ilmu tentang tauhid. Dan janganlah merasa aman dan merasa pintar sehingga mengatakan “Ah, bosan bahasannya tauhid terus.” Bukankah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdakwah di Mekah selama 13 tahun untuk menanamkan pondasi penting ini kepada para sahabat? Begitu pentingnya tauhid, karena menjadi dasar untuk peribadahan yang lain. Dan begitu pentingnya tauhid ini, agar segala amal ibadah tercatat sebagai amalan ibadah dan tidak terhapus begitu saja oleh kesyirikan.

Sebagai contoh pentingnya tauhid, tidak akan ada kemenangan besar dalam jihad fi sabilillah jika di dalamnya terdapat hal-hal yang merusak tauhid, seperti jimat, bergantung pada jin, aji tolak bala dan sebagainya.

2. Menundukkan ketaatan

Artinya, seorang muslim menundukkan segala bentuk ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya. Mungkin kita tidak sadar, bahwa selama ini kita bukan taat kepada Allah dan Rasul sebagaiman yang diperintahkan oleh syari’at. Bahkan kita terjatuh pada perilaku orang-orang jahiliyyah yang lebih mengedepankan ketaatan kepada tetua yang jika ditelusuri ternyata tidak mengajarkan hal-hal yang sesuai dengan syari’at-Nya.

َاوَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ

“Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ?” (Qs. Al Maaidah [5]: 104)

Sebagai contoh kecil, karena sudah dari kecil diajarkan merayakan maulid nabi, isra mi’raj dan hari-hari besar yang bahkan dijadikan libur nasional, maka kita menganggap bahwa kita harus tunduk dan ikut merayakannya. Padahal jika benar kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita tunduk dan pasrah tidak merayakan hari-hari tersebut karena memang hari-hari tersebut tidak disyari’atkan (tidak diperintahkan) oleh Allah dan Rasul-Nya.

3. Berlepas diri dari syirik dan pelakunya

Jika seseorang berserah diri hanya kepada Allah dan tidak kepada yang lain, maka ia akan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Karena sungguh sia-sialah seluruh amalan seorang muslim jika ia melakukan kesyirikan.

وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“…Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al An’am [6]: 88}

Contoh dalam masalah ini adalah ucapan selamat natal kepada kaum nasrani. Padahal jelas-jelas natal dirayakan oleh mereka dalam rangka ‘kelahiran’ yesus (yang dianggap tuhan). Maka jika kita memberi ucapan selamat kepada mereka, ini dapat diartikan menyetujui hari tersebut dan berarti mengakui adanya tuhan selain Allah.

Begitulah kesyirikan, kadang samar sekali tak terlihat secara langsung, namun sungguh sangat membinasakan. Oleh sebab itulah, kaum muslimin disarankan membaca do’a sebagai berikut agar segala bentuk kesyirikan yang mungkin secara tidak sadar dilakukan, diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

اللهمَّ إنّي أعوذُ بكَ أنْ أُشْركَ بكَ وَ انا أعْلمُ و أستغفرُك لما لا اعْلمُِ
Allahuma inni ‘a udzu bika an usyrika bika wa ana a’lamu wa astaghfiruka limaa laa a’ lam.

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dari berbuat kesyirikan kepadamu yang aku ketahui, dan aku memohon ampunanmu dari kesyirikan yang aku tidak ketahui.” (HR. Ahmad)

Semoga menjadi pengenalan singkat tentang Islam yang bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.